B100, Bentuk Komitmen Ketahanan Energi Bangsa


Bogor - Biodiesel ramah lingkungan berbahan baku 100 persen minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) atau B100 terus digaungkan Kementerian Pertanian. Bahkan  menjadi bahan bakar masa depan, sekaligus menjadi bentuk komitmen ketahanan energi bangsa Indonesia.

 

Tidak berlebihan memang menjadikan B100 sebagai bahan bakar masa depan, baik skala nasional maupun dunia. Pasalnya, seiring perkembangan penduduk yang membutuhkan mobilitas, kebutuhan akan bahan bakar semakin meningkat. Namun, bahan bakar fosil semakin berkurang dan harga terus naik. 

 

Disisi lain, Indonesia memiliki potensi produksi CPO sekaligus eksportir terbesar di dunia. Dengan lahan seluas 14,03 juta ha, pada tahun 2018 tingkat produksi minyak kelapa sawit a berkisar 41,67 juta ton. Melihat hal tersebut Indonesia mempunyai peluang untuk memanfaatkan CPO sebagai energi alternatif bahan bakar fosil, khususnya untuk solar berupa biodiesel.

 

"Kementerian Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian telah berhasil menciptakan satu inovasi yaitu bahan bakar alternatif Biodiesel B-100 yang dihasilkan dari bahan alami terbarukan seperti minyak nabati dan hewani," ungkap Plt Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Momon Rusmono (4/7).

 

Kementan melakukan lompatan besar dalam inovasi biodiesel yang selama ini menggunakan campuran bahan bakar minyak bumi, atau dikenal dengan sebutan B20, B30 dan sebagainya. Tetapi B100 ini mengandung 100 persen bahan alami tanpa dicampur dengan bahan bakar fosil.

 

Sementara itu Tenaga Ahli Menteri Bidang Infrastruktur dan Sarana Pertanian, Sam Herodian mengatakan, untuk produksi energi baru terbarukan, CPO merupakan bahan baku yang paling siap. 

"Sawit punya kandungan minyak mencapai 4000 kg/ha per tahun. Tanaman ini juga menjadi paling efisien untuk dijadikan minyak nabati/biodiesel," tuturnya.

 

Selama ini, produksi CPO memang masuk pada pasar ekspor. Namun beberapa tahun terakhir, produksi CPO Indonesia diserang dengan black campaign, sehingga mengalami penurunan ekspor.

 

Karenanya, B100 menjadi pijakan nasional untuk mengolah CPO menjadi energi terbarukan dan menjadi alternatif pemanfaatannya. "Kita ekspor CPO ke 147 negara. Bayangkan kalau kita stop ekspor, dipastikan kelimpungan dan industrinya mati. Kita sebenarnya punya cara untuk mengendalikan dunia lewat CPO," tegasnya.

 

Ketua Umum Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia (PERTETA) yang juga Dosen Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB University, Desrial menilai, B100 ini juga menjadi bentuk ketahanan energi bangsa, sekaligus untuk melepas belenggu impor solar. Menurut catatan Desrial, produksi solar di Indonesia hingga 2015 mencapai 248,8 juta barrel, sedangkan impornya juga sudah mencapai 174,4 juta barrel. "Sudah tak jauh beda dengan produksi dalam negeri. (Impor solar) ini menjadi sesuatu yang mengerikan bagi masa depan Indonesia jika terus bergantung di dalamnya," tegasnya.

 

Desrial menyebut, industri biodiesel di Indonesia pada 2018 sudah bisa menghasilkan sebanyak 12 juta kiloliter. Produsen terbesar ada di Sumatera yang mencapai 7,3 juta kiloliter. "Kemampuan kita (untuk biodiesel) sudah melebihi kebutuhan bahan bakar solar di Indonesia, kalau semua bisa kita produksi sesuai kapasitas terpasang pabrik. Jadi kita bisa untuk mulai menutup impor solar tersebut," tegasnya. 

 

Desrial mengatakan, dengan terkereknya harga CPO tersebut, secara langsung akan mengangkat harga tandan buah segar (TBS). Dari penelitian, setidaknya harga yang semula Rp 850/kg akan naik menjadi Rp 1.850/kg. "Itu saja baru dari kebijakan Public Service Obligation (PSO) menggunakan B20. Sudah signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi," tuturnya. 

 

Desrial menilai, biodiesel B100 yang lebih efisien karena pembakaran yang jauh lebih bersih. Sehingga bisa menghasilkan jarak tempuh yang lebih panjang.




Berita Lainnya