Upaya Kementan Menjawab Ancaman Resistensi Antimikroba (AMR)


Solo (19/11/2017) - Isu Resistensi Antimikroba atau biasa disebut Antimicrobial Resistance (AMR), akhir-akhir ini sedang mengemuka dan menjadi perhatian semua pihak baik di lingkup kesehatan manusia, lingkungan, perikanan dan tentunya di sub sektor peternakan dan kesehatan hewan. Untuk merespon ancaman AMR tersebut, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) telah menyiapkan langkah-langkah strategis dalam upaya pengendalian AMR. Hal tersebut disampaikan Syamsul Ma'arif selaku Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner saat mewakili Dirjen PKH I Ketut Diarmita pada acara Sarasehan dengan Peternak dengan Tema “Penggunaan Antibiotik Yang Bijak Menghasilkan Produk Unggas Yang Sehat” tanggal 18 November 2017 di Solo.

Tujuh (7) langkah strategis tersebut, yaitu: (1). Dari sisi regulasi, melakukan pelarangan penggunaan antibiotik sebagai growth promoter; (2). Terlibat dan berperan aktif dalam pembuatan dan menyepakati NAP (Nasional Action Plan atau Rencana Aksi Nasional) penanggulangan AMR bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertahanan, BPOM dan beberapa Kementerian serta lembaga pemerintah lainnya  dalam kerangka pendekatan “One Health”; (3). Memulai surveilans Resistensi Antimikroba di wilayah kerja Balai Veteriner Subang (Jawa Barat, Banten dan Jabodetabek); (4). Melakukan pilot survey penggunaan antimikroba (AMU = Antimicrobial Usage) di tiga provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada 360 peternakan ayam pedaging (Broiler); (5). Melakukan Kuliah Umum (Studium General) untuk meningkatkan kesadaran penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab di beberapa fakultas kedokteran hewan (IPB, UNAIR UNHAS, UGM, dan UDAYANA pada tahun ini); (6). Merancang pembuatan Komite Pengendali Resistensi Antimikroba (KPRA); (7). Penyusunan Permentan untuk Pengendalian Resistensi Antimikroba.

Dalam acara sarasehan yang dihadiri kurang lebih 100 peternak dan pelaku usaha di sub sektor perunggasan ini Syamsul Ma’arif menjelaskan, bahaya resistensi antimikroba erat kaitannya dengan perilaku pencegahan dan pengobatan, penerapan biosecurity dan higiene sanitasi, serta sistem keamanan produksi pangan dan lingkungan. "Kita harapkan dengan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah akan efektif untuk menjawab tantangan ancaman resistensi antibiotik", ujarnya.

Hadir juga dalam acara tersebut Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan dari Provinsi Jawa Tengah, Kota Solo, Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Sragen dan Klaten, Pinsar Petelur Nasional (PPN), Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia (ADHPI), Yayasan Orang Tua Peduli (YOP), dan Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS).


Sarasehan dengan Peternak ini merupakan rangkaian acara puncak kegiatan “Pekan Kesadaran Antibiotik Dunia” yang sebelumnya dimulai dengan Kuliah Umum di Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada 18 November 2017. Puncak perayaan Pekan Kesadaran Antibiotik akan dilakukan karnaval atau street campaign bersamaan dengan penyelenggaran Hari Bebas Berkendara (Car Free Day) di Solo.

Syamsul Ma’arif menyampaikan, Resistensi Antimikroba menimbulkan ancaman kesehatan global yang signifikan terhadap populasi di seluruh dunia. “Dengan perkembangan global, mikro-organisme resisten dapat menyebar dengan sangat cepat, sehingga tidak ada negara yang terhindar dari masalah resistensi antimikroba”, ungkapnya. 

Menurut Syamsul Ma’arif, acara Sarasehan ini merupakan upaya pemerintah dalam menyebarkan informasi secara luas kepada Stakeholder terkait tentang pentingnya penggunaan antibiotik secara bijak dan bertanggung jawab untuk mengendalikan resistensi antimikroba, serta dampak yang mungkin ditimbulkan.  Selain itu juga untuk memperkuat pemahaman tentang pentingnya peran Good Farming Practices (implementasi biosekuriti 3 zona, vaksinasi, higiene dan sanitasi), sehingga dapat mengurangi kejadian penyakit dan penggunaan antibiotic. 

“Selanjutnya kami juga ingin mempromosikan tentang produksi unggas yang sehat dan berkualitas yang mempunyai jaminan keamanan pangan untuk konsumsi manusia, sekaligus mensosialisasikan untuk mendukung upaya pemerintah dalam pelarangan penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (AGP)”, ungkap Syamsul Ma’arif menjelaskan. 

Lebih lanjut Ni Made Ria Kasubdit Pengawasan Obat Hewan mewakili Direktur Kesehatan hewan meyampaikan kepada para pelaku usaha untuk menghentikan penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan atau Antibiotic for Growth Promoter (AGP). “Regulasi ini sebagaimana yang diamanatkan Permentan No.  14 tahun 2017 tentang Klasifikasi obat hewan, serta mengacu pada amanat UU No. 41 tahun 2014 Jo. UU no 18  tentang peternakan dan kesehatan hewan "antibiotik untuk AGP dilarang untuk diedarkan dan digunakan sampai batas waktu 31 Desember 2017", ungkapnya menjelaskan.

Made Ria juga mengatakan, pelaku usaha wajib melakukan peresepan oleh dokter hewan dalam penggunaan obat keras untuk pengobatan karena telah menjadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah dalam pengawasan atas pembuatan, penyediaan, dan peredaran obat hewan. "Penggunaan antibiotik tanpa resep atau tanpa pengawasan supervisi medis menyebabkan penggunaan antibiotik tidak tepat merupakan salah satu faktor pencetus resistensi antimikroba", terang Ni Made Ria.

Sementara itu perwakilan CIVAS, Riana Arif menyampaikan, fakta-fakta di lapangan tentang pola penggunaan antibiotik di peternakan dari hasil kajian yang pernah dilakukan di Jawa Tengah. “Gambaran ancaman resistensi antimikroba yang kian nyata. Hasil survei responden peternak, pekerja peternakan, dan masyarakat menunjukkan lemahnya fungsi pengawasan, serta pengendalian praktik penggunaan antibiotik yang tidak bertanggungjawab dan tidak bijak di peternakan maupun di masyarakat”, ungkap Riana. “Tingkat pengetahuan dari mayoritas responden peternak mengenai resistensi antibiotik masih rendah, begitu juga dengan masyarakat" tambahnya menjelaskan. 

Pada kesempatan itu,  Robby perwakilan dari peternak menyampaikan testimoninya dalam menerapkan Model Biosecurity 3 Zona. Biosekuriti merupakan praktik manajemen dengan mengurangi potensi transmisi perkembangan organisme seperti virus Avian Influenza (AI) dalam menyerang hewan dan  manusia. "penerapan biosecurity 3 zona dan higiene sanitasi, efektif mengurangi penggunaan antibiotik",  jelas Robby. 

Drh.  M. Azhar Senior Veteriner menyampaikan, saat ini model biosecurity 3 zona telah direplikasikan di 12 Provinsi oleh 153 petugas dinas dari kabupaten/kota yang berkompetensi PVUK (Pelayanan Veteriner Unggas  Komersil), dan 8.530 peternakan unggas komersil. “Kita harapkan model biosecurity 3 zona ini dapat diterapkan juga oleh peternak atau pelaku usaha peternakan lainnya untuk mengurangi resiko penggunaan antibiotic”, kata Drh. Azhar menambahkan.




Berita Lainnya