Bareskrim Ungkap Pidana dalam Gejolak Harga Cabai Rawit Merah


Jakarta - Harga cabai rawit merah di  tingkat konsumen masih tinggi, berkisar Rp100.000 hingga Rp150.000 per kilogram (kg). Hal tersebut tidak sesuai dengan harga acuan cabai rawit merah tingkat konsumen dalam Permendag No. 63/2016 yaitu Rp 29.000/kg. Berdasarkan pantauan Direktorat Jenderal Hortikultura, Spudnik Sujono, persediaan cabai rawit merah dalam kondisi cukup.

“Pemerintah menyikapi hal tersebut dengan mengadakan penyidikan dugaan pidana penetapan harga yang tidak sesuai dengan ketentuan, yang dilakukan oleh para pengepul,” ujar Brigjen Pol. Antam Novambar, Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal (Wakabareskrim) Polri, Jumat (3/3).

Pengungkapan kasus ini diawali dengan informasi masyarakat dan juga koordinasi pendahuluan dengan beberapa stakeholder (Bareskrim, Kementan, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha/KPPU). Menyikapi hal yang menjadi atensi masyarakat secara luas, diadakan penyelidikan, dirunut dari wilayah-wilayah yang merupakan sentra produksi, ternyata cabai yang seharusnya dikirimkan ke pasar induk (dalam hal ini adalah Pasar Induk Kramatjati sebagai parameter harga, sesuai dengan informasi dari instansi terkait) masuk ke beberapa perusahaan pengguna cabai rawit merah, karena harga yang didapat bisa tinggi sebesar Rp. 181.000/kg dan berimbas pada kenaikan harga cabai rawit merah di tingkat konsumen. Dalam situasi normal seharusnya ada 50 ton cabai rawit merah masuk ke Kramatjati, tetapi berkurang jauh, yaitu kurang lebih sebanyak 80% berkurang, yang lari ke beberapa perusahaan.

Kasus ini dikenakan pasal persaingan usaha (pasal 5), dan sifatnya berkesinambungan, sebagai entry point untuk masuk ke pasal-pasal lain selanjutnya. Penyelidikan telah dimulai sejak bulan Desember 2016, cocok dengan fenomena yang ada di lapangan, dengan menghadirkan beberapa saksi termasuk saksi ahli. Dan saat ini telah ditentukan 2 tersangka, dan nanti downlinenya akan banyak, diperkirakan ada 9, termasuk downline-downline dibawahnya.

Sementara, Dirjen Horti, mengungkapkan bahwa ini adalah bagian daripada upaya pemerintah, karena pemerintah harus menyikapi dua sisi, petani harus untung, dan harga di tingkat konsumen terjangkau. Pemerintah menjaga tidak hanya di tingkat produksi.

Harga cabai rawit ini memang pengecualian, di akhir bulan Desember 2016 harga cabai rawit merah masih berkisar Rp 30.000-40.000/kg, begitu 4 Januari 2017, langsung naik ke angka Rp80.000 dan teruk naik. Harga tersebut merupakan harga di tingkat bandar. Dan sepanjang pengalaman, cukup aneh dan ekstrim, melebihi harga daging.

Kementan berterima kasih pada Bareskrim, KPPU dan semua pihak. Mudah-mudahan hal ini tidak terulang lagi, memainkan harga yang terlalu tinggi, sehingga suplai ke pasar induk terganggu.

Kementan telah memantau ke berbagai pasar induk, khusus Kramatjati yang sedikit tertekan pasokannya. Bisa jadi mungkin pasokan yang seharusnya masuk ke Kramatjati, tetapi lari ke industri. Ini yang harus disikapi. Ke depan juga harus ada koordinasi, sehingga hal seperti ini tidak terulang.

“Harga di petani kalaupun naik, sebenarnya, sudah dibuat harga referensi tingkat petani, harga teratas Rp29.500 dan terendah Rp17.000. Kalaupun harga jual karena produksi cabai terdampak  hujan dan sebagainya menjadi Rp30.000 pun masih pantas, dan petani masih untung", terang Spudnik.

Gopprera Panggabean, Direktur Penindakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), menyampaikan bahwa dari investigasi di lapangan, harga di tingkat petani sudah tinggi juga, sebesar Rp70.000 per kg. Disamping itu KPPU juga menelisik jalur distribusi dari petani ke pengepul, dari pengepul ke bakul, dari bakul ke bandar termasuk bandar di pasar induk, di level mana terdapat permainan harga, apakah karena terdampak hujan dsb.

Namun faktanya bahwa di tingkat petani ada yang melepas dengan harga Rp70.000/kg dan masih akan ditelusuri, apakah nanti ada kaitannya dengan adanya kesepakatan pengepul untuk mengambil ke petani dengan harga tinggi,  sehingga berdampak ke petani yang melepas dengan harga Rp70.000.

Tetapi kalau kita pakai persentase dari harga acuan, baik margin maupun biaya transport, di tingkat pengepul maupun di tingkat bandar, sesuai dengan ketentuan persentase dari yang dikeluarkan oleh Kementerian, kalaupun harga Rp70.000 di tingkat petani, itupun tidak akan sampai harganya ke angka Rp150.000-Rp160.000 seperti sekarang ini. Jadi kita lihat pula apakah margin terlalu besar, atau apakah memang karena kesepakatan. Kalau tidak ada kesepakatan berarti mereka mengambil margin sendiri-sendiri.




Berita Lainnya