Swasembada Gula Bukanlah Isapan Jempol


Defisit gula Indonesia untuk memenuhi kebutuhan nasional sudah dirasakan sejak tahun 1967. Ini terus meningkat dari tahun ke tahun dan bahkan solusi instan yang diambil selama ini hanya melalui impor. Padahal dari sisi lahan, benih unggul, maupun cara budidaya sudah ada, namun perlu keseriusan kita bersama untuk menjawab defisit gula tersebut. Masalah klasik hingga kini adalah rendahnya produktivitas tebu dan rendahnya rendemen gula. Rata-rata produktivitas tebu yang ditanam di lahan sawah sebesar 95 ton/ha, dan di lahan tegalan sebesar 75ton/ha, dan rendemen gula 7,3-7,5%. Masalah lain yang dihadapi adalah kondisi varietas tebu yang dipakai menunjukkan komposisi kemasakan yang tidak seimbang, masak awal, masak tengah, dan masak akhir. Penerapan teknologi budidaya tebu juga belum dilaksanakan secara optimal, dan banyak tanaman tebu dengan ratun lebih dari 3 kali. Kementerian Pertanian telah mengagendakan bahwa swasembada gula harus terwujud pada tahun 2019. Untuk itu unit kerja terkait harus bekerja keras mewujudkannya. Inovasi teknologi di bawah ini bisa menjawab permasalahan itu.

Permasalahan yang pertama adalah Varietas unggul. Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi utama yang menentukan keberhasilan swasembada gula, karena pertumbuhan tanaman menjadi seragam sehingga panen bisa serempak, produktivitasnya tinggi, bahkan mempunyai ketahanan terhadap gangguan hama maupun penyakit. Varietas tebu POJ 2878 Agribun Kerinci bisa dipertimbangkan untuk mengejar peningkatan produktivitas karena potensi produksinya cukup tinggi yaitu 109 ton/ha/tahun, potensi hasil gula merah tinggi rata-rata 12,03 ton gula merah/ha/tahun, dan rendemennya mencapai 11-12%. Varietas ini sangat potensial untuk dikembangkan di Jambi, Sumatra Barat, dan Aceh untuk mendukung produksi gula merah rakyat.

Yang kedua dengan mengatur jarak tanam dengan juring ganda. Selama ini petani tebu maupun perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan gula, dalam melakukan budidaya masih menggunakan Juring Tunggal. Padahal Badan Litbang Pertanian telah menemukan sistem budidaya tebu dengan menggunakan sistem Juring Ganda. Keunggulan teknologi sistem Juring Ganda mampu meningkatkan populasi tanaman tebu dengan cara mengatur jarak tanam tebu dengan pola beberapa barisan agar sirkulasi udara dan pemanfaatan sinar matahari oleh tanaman tebu lebih optimal. Sistim tanam ini terbukti mampu meningkatkan produktivitas tebu hingga 60 persen.

Teknologi juring ganda yang diuji di KP. Muktiharjo, Pati, Jawa Tengah, mampu meningkatkan produktivitas tebu sebesar 29,2% dibanding sistem tanam juring tunggal. Pengujian sistem tanam juring ganda dibandingkan dengan sistem tanam juring tunggal, diperluas ke 24 Kabupaten yang menyebar di 10 Propinsi di Indonesia. Adapun daerah perluasannya meliputi Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (Bener Meriah), Sumatra Utara (Deli Serdang dan Langkat), Sumatra Selatan (Ogan Komering Ilir), Lampung (Lampung Utara), Jawa Barat (Cirebon dan Majalengka), Jawa Tengah (Pati, Blora, Tegal, Klaten, Pekalongan), DIY (Bantul), Jawa Timur (Bangkalan, Sampang, Jember, Sidoarjo, Pasuruan, Sutubondo, Lamongan), Sulawesi Selatan (Bone dan Takalar), dan Gorontalo (Gorontalo).

Sedangkan yang ketiga terkait pengendalian hama uret. Pengendalian hama uret pada tanaman tebu dapat dilakukan dengan mulsa plastik. Penutupan mulsa pada juringan dilakukan saat kumbang uret mulai aktif terbang sekitar awal musim hujan atau bulan November. Penutupan mulsa plastik 100% memberikan hasil yang efektif,  menekan populasi hama uret menjadi relatif rendah rata-rata 4,8 ekor/0.50 m2 dengan tingkat kerusakan 11%, penutupan mulsa 50% populasi uret rata-rata 10 ekor /0.50m2 dengan tingkat kerusakan 39% serta kontrol populasinya rata-rata 12,8 ekor/0,5m2 dengan tingkat kerusakan 49%. Tingkat kerusakan tanaman tergantung akan tingkat populasi uret. Prinsip kerja dari penutupan mulsa plastik ini adalah sangat sederhana, kumbang (uret dewasa) tidak dapat meletakkan telur di tanah, sedangkan kumbang yang ada di dalam tanah tidak dapat keluar dari tanah karena tertutup oleh mulsa plastik. Pengendalian hama uret dengan menggunakan mulsa plastik memberikan tambahan produksi gula 3,29 ton. Berdasarkan analisa MRR (Marginal Rate of Return) penggunaan mulsa plastik memberikan tambahan pendapatan Rp 31 juta per ha dibanding tanpa penutupan mulsa plastik. Biaya pembelian mulsa plastik dinilai mahal sekitar Rp 8 juta/ha, tetapi mulsa plastik dapat digunakan untuk dua musim tanam dan memberikan jaminan hasil. 

Penggunaan mulsa plastik untuk pengendalian uret direkomendasikan terutama di daerah endemik uret, di mana dengan pengendalian lain tidak dapat meberikan jaminan efektivitas. Daerah berpasir atau berjenis tanah ringan merupakan daerah endemik uret, antara lain di Kabupaten Purworejo, Sleman, Kediri, Tulungagung, Lamongan, Situbondo, Bondowoso, Jember dan Lumajang yang luasnya dapat mencapai 5000 ha. Penggunaan mulsa plastik selain mengendalikan uret juga dapat mengendalikan gulma, mengurangi penguapan air tanah yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas tebu yang siginikan sampai 100 ton/ha.

Yang keempat dengan  kepras (memotong sisa tebangan agar pertumbuhanya serempak) tebu secara manual membutuhkan tenaga 20 orang per hektar. Hampir setiap musim rawat ratun (pergantian tanaman tebu) tiba, beberapa sentra produksi tebu selalu kesulitan mendapatkan tenaga kerja. Mesin kepras tebu juring ganda dirancang dapat menurunkan biaya sekaligus mempercepat waktu pengeprasan. Luas tanam tebu ratun mencapai 75% luas areal tebu yang ada di Indonesia. Kelebihan sistem budidaya tebu ratun dibandingkan dengan sistem PC (Plant Cane) adalah hemat biaya pemakaian bibit dan tenaga tanam, tanaman tebu hasil keprasan lebih dapat beradaptasi terhadap lingkungan.

Pada budidaya tebu ratun, kualitas hasil keprasan sangat penting, karena akan menentukan mutu tunas. Hampir setiap musim rawat ratun tiba, beberapa sentra produksi tebu selalu kesulitan mendapatkan tenaga kerja. Hasil keprasan yang baik adalah jika dapat memotong bonggol tebu (sisa hasil panen) rata tanah hingga 2-4 cm di bawah permukaan tanah dan batang tidak pecah. Inovasi teknologi Balitbangtan ini dirancang khusus untuk mempercepat kegiatan rawat ratun tebu.  Mesin rawat ratun ini dapat digunakan secara multifungsi untuk memotong tunggul tebu sisa panen secara rata tanah (tandas), memutus akar samping (pedot oyot) dan melakukan pengairan sepanjang satu baris tanam. Kesiapan inovasi teknologi untuk mendorong peningkatan produktivitas tebu sudah ada, tinggal kemauan dan kerja keras kita bersama untuk menerapkannya di lapangan, sehingga swasembada gula pada tahun 2019 bukan menjadi isapan jempol.




Berita Lainnya